putra mandaya

Mengenai Saya

Foto saya
gaya hidup masa kini...

Selasa, 10 Mei 2011

KEKELIRUAN PENGANUT RUKYAT GLOBAL & PERLUNYA GARIS TANGGAL HIJRIYAH

KEKELIRUAN PENGANUT RUKYAT GLOBAL & PERLUNYA GARIS TANGGAL HIJRIYAH

1. Pendahuluan

Pertanyaan yang sering muncul baik di kalangan ummat Islam maupun dari luar adalah, mengapa di dalam kalender hijri (kalender Islam) tidak ada kepastian dan konsistensi hari. Bila dalam kalender Internasional (kalender Masehi) tanggal 1 Januari 2001 jatuh hari Senin, maka di manapun 1 Januari 2001 itu adalah Senin.

Namun pada kalender Hijri, tanggal 1 Syawal sering jatuh pada hari yang berbeda-beda, bahkan kadang dalam satu negeri, satu desa, bahkan satu rumah!

Hal ini membuat kita bertanya-tanya, mengapa itu bisa terjadi, dan apa solusinya. Tulisan ini disarikan dari pengalaman penulis selama hampir 10 tahun serta dari ratusan kali ceramah dan diskusi dengan berbagai kalangan.


Sistem Kalender

Kalender Hijri didasarkan pada perhitungan bulan murni. Sebenarnya bisa saja dibuat kalender hijri yang pasti dan konsisten. Misalnya dengan memakai suatu rumus kalender. Atau dengan hisab astronomi pada satu tempat tertentu (misal Makkah) dan dipakai untuk seluruh dunia (hisab global).

Sistem kalender seperti ini pernah direkomendasikan dalam suatu pertemuan OKI dan juga telah banyak dipakai. Namun kegunaannya sebatas keperluan administrasi (misal membuat jadwal penerbangan). Sedang untuk keperluan ibadah (puasa, Ied, Haji), kalender ini tidak mengikat. Hal ini karena dalam masalah ibadah, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa waktu-waktunya harus disesuaikan dengan fakta astronomi yang aktual (rukyatul hilal).

Astronomi Islam

Kaum muslimin mulai mengembangkan astronomi yang akurat sejak mereka harus melakukan navigasi di tengah laut baik ketika mereka berbisnis ke India atau ke Cina, maupun ketika mereka harus berjihad menghadapi armada Romawi yang perkasa.

Dalam astronomi ini dikembangkan metode observasi (rukyat) yang sistematis dan memenuhi kaidah serta syarat?syarat ilmiah, yaitu obyektif dan replicable. Dari ribuan observasi, maka berhasil dibuat rumus-rumus hitungan (hisab) untuk melakukan prediksi ke depan. Dengan makin majunya ilmu dan teknologi, maka berhasil dibuat alat-alat rukyat yang lebih teliti dan dari observasinya berhasil lagi dibuat rumus-rumus hisab yang juga makin teliti, dan seterusnya.

Hisab

Hitungan hisab itu kini bisa diotomatisasi dengan pemrograman dalam komputer. Dengan demikian berbagai kesalahan manusia bisa dieliminasi. Salah satu contoh program komputer yang khusus dikembangkan untuk hisab kalender Hijri adalah software 'Mawaaqit' yang semula dikembangkan oleh Club Astronomi Al-Farghani bersama ICMI Orsat Belanda dan kemudian dilanjutkan di Bakosurtanal.

Mawaaqit ini menggunakan algoritma dengan ketelitian yang sangat tinggi, yaitu dari VSOP87, meskipun ada metode yang lebih sederhana. Jean Meeus (1991) menyatakan bahwa dengan teori dan algoritma VSOP87 akurasi yang didapatkan adalah lebih baik dari 0.01'. Untuk bumi, teori ini mengandung 2425 term periodis yang disediakan Buerau des Longitudes (Paris), yaitu 1080 term untuk bujur bumi, 348 untuk lintang dan 997 untuk vektor radius.

Dengan algoritma yang lebih sederhana, misalnya dengan 49 term periodis, (Bretagnon & Simon, 1991) berani memberikan metode kalkulasi bujur dari matahari dengan akurasi 0.0006 derajat (2'.2) untuk tahun 0 sampai +2800 dan 0.0009 derajat (3'.2) untuk '4000 sampai dengan +8000. Metode ini sudah cukup untuk banyak aplikasi.

Akurasi ini terbuktikan baik secara ilmiah misalnya dengan Lunar Laser Ranging, maupun secara praktis, yaitu di dunia pelayaran. Dunia pelayaran setiap hari memakai astronomi modern. Bila ada anomali atau kesalahan data astronomi, maka pasti akan langsung dirasakan para pelaut di seluruh dunia, dan mereka akan menggugat penerbit data astronomi tersebut.

Dengan demikian hisab modern ini sudah mendekati pasti (qath?ie), apalagi bila ketelitian yang diperlukan cuma dalam hitungan menit. Dengan hisab modern ini bisa dihitung besaran-besaran hisab yang sangat penting, dua di antaranya adalah Ijtima' dan Irtifa'.

Ijtima'

Ijtima' adalah saat 'bertemunya' (conjunction) bulan dan matahari pada bujur ekliptik yang sama. Bila lintangnya juga sama maka akan terjadi gerhana matahari. Sejak ratusan tahun yang lalu para astronom bisa menghitung ijtima ribuan tahun ke depan dengan kesalahan kurang dari satu menit.

Ijtima' terjadi serentak, dan cuma sekali setiap bulan. Peristiwa ijtima tidak bisa dilihat karena matahari di belakang bulan sangat menyilaukan.

Irtifa', Wujud ul Hilal

Setelah ijtima', bulan yang makin tinggi lambat laun akan menyentuh horizon bagi tempat di muka bumi yang sedang mengalami matahari terbenam. Bila bulan ini tepat di horizon, maka dikatakan irtifa'-nya nol dan sejak itu dia wujud (wujud ul hilal). Makin lama irtifa' ini makin besar. Dalam 24 jam (sehari) dia akan naik sekitar 12 derajat.

Namun tidak setiap bulan di atas horizon akan membentuk 'wujudul hilal'. Pada konstelasi tertentu, di lintang tertentu, bisa saja bulan berada di atas horizon meski belum ijtima' (=wujud ul qomar). Karena itu irtifa' harus digabung dengan umur bulan.


Rukyat ul Hilal

Rukyat ul Hilal adalah metode praktis membuktikan apakah bulan sabit baru (hilal) terlihat atau tidak. Sebenarnya tidak mudah melakukan rukyatul hilal, sekalipun bagi astronom. Dalam astronomi obyek langit yang biasa dirukyat dianjurkan di atas sudut 15 derajat. Sedang rukyatul hilal justru dilakukan saat irtifa' bulan masih sangat rendah.

Sebenarnya rukyatul hilal semestinya dilakukan setelah ijtima'. Namun secara syar'i rukyat selalu harus dilakukan setiap tanggal 29 Sya'ban atau Ramadhan tanpa melihat sudah ijtima' atau belum.

Secara metodologi, pada saat ini rukyatul hilal jarang dilakukan secara ilmiah, yaitu obyektif, terekam dan replicable. Pada umumnya yang diandalkan adalah kesaksian orang yang dianggap jujur, walaupun kini ada juga laporan rukyat yang ditolak karena nyata-nyata dimustahilkan hisab (misal irtifa' negatif atau belum ijtima' / masih bulan tua).


Imkanur Rukyat

Setiap ada kesaksian rukyat yang diterima, para ahli hisab akan melihat pada irtifa' berapa laporan itu. Dari sini kemudian timbul berbagai teori tentang 'kapan secara astronomis hilal mungkin dilihat'. Inilah konsep 'imkanur rukyat'.

Masalahnya angka imkan yang ada berbeda-beda. Kitab-kitab ilmu falak tua masih memakai 7 derajat. Di Turki memakai 5 derajat. Di Indonesia Jama'ah Persis konsisten memakai hisab mutlak dengan imkan 2 derajat. PBNU tetap akan merukyat namun akan menolak rukyat sementara irtifa' masih kurang dari 2 derajat.

Karena masalah imkan belum ada konsensus, Muhammadiyah akhirnya memutuskan memakai wujudul hilal. Dari sini kelihatan bahwa meski metode hisab sama, namun bila kriteria imkan berbeda, hasilnyapun bisa berbeda satu hari.

Di manakah bulan pertama kali mungkin terrukyat (imkan awal) ternyata bisa di mana saja. Tidak ada sebuah tempatpun yang memiliki privilege. Semua tergantung kondisi aktual. Secara astronomi, bisa dibuatkan garis tanggal hijri (Hijri Date Line / HDL), yaitu suatu garis tempat-tempat dengan irtifa' (wujud, imkan) sama saat matahari terbenam di masing-masing tempat. HDL ini tiap bulan bergeser dan berubah bentuknya.

Yang pasti, faktor cuaca tidak bisa diprediksi dengan hisab astronomi, karena tidak ada hubungannya.

Zona Waktu

Ketika para pelaut Inggris mengelilingi dunia ke arah timur, mereka menghitung hari. Ternyata ketika kembali ke London dari arah barat, mereka dapatkan hari yang dihitung dalam perjalanan selalu lebih panjang sehari dari yang dihitung orang di London.

Dan sebaliknya, bila keliling dunia ke arah barat, maka hari dalam perjalanan selalu lebih pendek sehari dibanding orang yang diam di London.

Untuk menyelesaikan masalah ini, maka akhirnya para pelaut, geografer dan astronom sepakat untuk mendefinisikan suatu garis maya yang disebut garis tanggal internasional (International Date Line / IDL). Garis ini didefinisikan sebagai 180 derajat bujur barat/timur, dan melintas daerah jarang penduduk yaitu di Samudra Pasifik, meski ada sedikit modifikasi untuk tidak memotong satu negara pun di sana.

Bila kita melintasi garis IDL ini, maka akan ada lompat hari. Bila dari Tuvalu kita berangkat Jum'at sore naik pesawat terbang ke West Samoa, maka setelah kurang lebih satu jam kita akan tiba di West Samoa pada Kamis sore!

Meski kelihatan aneh, tapi garis maya ini harus ada agar ada konsistensi hari dan tanggal pada kalender internasional. Dan menurut garis tanggal ini pula kaum muslimin mendefinisikan nama-nama hari seperti Senin, Kamis, Jum'at dan sebagainya.










Gambar 1. Bumi dengan IDL-nya.

Keterangan:

1. (+) = Hilal sudah di atas ufuk, saat Matahari terbenam di tempat itu (Maghrib) à Hilal sudah wujud, dan masuk tanggal 1.
2. (-) = Hilal di bawah ufuk, saat Matahari terbenam di tempat itu (Maghrib) à Hilal belum wujud, dan belum masuk tanggal 1, bisa baru masuk tanggal 29, atau disempurnakan menjadi tanggal 30.
3. Definisi Hilal adalah: bulan sabit yang muncul di ufuk Barat suatu tempat, akan wujud saat akan masuk hari ke 1 (masuk bulan baru). Wujud hilal ini hanya akan terjadi saat waktu Maghrib di suatu tempat.
4. Karena bumi bulat, maka ada kalanya tempat yang sudah masuk malam, ada kalanya yang masih siang. Sehingga, harus dibuat Garis Tanggal Masehi (sifatnya tetap). Sedangkan Garis Tanggal Hijriyah harus juga ada dan bersifat dinamis setiap bulan.
5. Penganut Rukyat Global nampaknya belum mengetahui ”fakta ilmiyah” ini. Sebagaimana seluruh Umat Islam melaksanakan Sholat. Maka, tidak mungkin juga mengikuti waktu Sholat di Mekkah Arab. Misal, Albi sedang berada di Mekkah, dan melihat bahwa matahari di kota Mekkah sudah terbenam. Berarti sudah masuk Maghrib. Maka, Albi mengontak beberapa teman ke seluruh dunia, bahwa saat ini sudah masuk waktu Maghrib. Maka, Hendra yang berada di Papua mendengar kabar, bahwa harus melaksanakan Sholat Maghrib. Padahal di Papua, waktu sudah terlampau malam (jam 12 malam). Karena itu, ini tidak mungkin.
6. Hilal itu sifatnya ”lokal”, Bukan ”global”. Sama juga, katanya hilal itu hanya ada satu, karena bulannya juga hanya satu. Ini benar. Sebagaimana juga matahari. Sholat pakai waktu matahari, tapi mengapa sholat setiap tempat beda-beda waktunya. Padahal mataharinya hanya satu.
7. Sholat Jumat juga tidak seluruh dunia melakukannya pada waktu yang bersamaan. Karena, misal: Hendra yang ada di Papua, pada siang hari melaksanakan Sholat Jumat jam 12 siang. Tapi, Reynaldi yang berada di West Samoa (sebelah kanan Garis Tanggal Masehi), ternyata masih hari Kamis !!! (waktu sudah agak sore sekitar jam 3 atau jam 4). West Samoa ke Timur ke Amerika, terus....., Sholat Jumat baru besoknya.


2. Faktor-faktor Keragaman

Dari uraian di muka, terlihat ada faktor teknis yang memungkinkan keragaman waktu ibadah. Namun selain itu ada juga faktor fiqh dan faktor politis. Dan ini bisa jadi justru lebih dominan.

Faktor Fiqh

Yang klasik dipertentangkan orang adalah disput antara 'rukyat bil fi'li' (dengan mata telanjang) dan hisab yang juga di-klaim sebagai 'rukyat bil 'ilmi'. Di Indonesia hisab mutlak diwakili oleh Muhammadiyah dan Persis. Kedua ormas ini tidak merasa perlu lagi melakukan rukyat, karena hisab dianggap cukup dan tidak lagi menyulitkan. Sementara rukyat diwakili NU, walaupun sebenarnya NU juga memakai hisab, walau tetap harus disahkan rukyat. Setidaknya NU berani menolak rukyat yang dimustahilkan hisab.

Disput yang kedua adalah masalah daerah berlaku rukyat (rukyat lokal vs global). Penganut rukyat lokal berpegang pada mazhab Syafii yang mengenal konsep matla (sejauh radius 120km). Dalam praktek batas matla ini tidak jelas, sehingga lalu muncul 'wilayatul hukmi'. Masalahnya bila wilayah itu amat luas, seperti Rusia atau Daulah Islam di masa lalu.

Faktor Teknis

Andaikata orang sepakat dengan hisab saja atau rukyat saja atau rukyat global, maka hasilnya tetap bisa berbeda secara teknis, yakni bila metode hitungan dan kriteria imkan yang dipakai dalam hisab berbeda, sehingga 29 sya'ban pun berbeda, dan orang akan rukyat pada hari yang berbeda.

Sedang pendapat tentang syarat-syarat rukyat pun bisa beraneka ragam. Ada yang mengharuskan syarat-syarat kesehatan (misal tidak berkacamata), syarat intelektual, syarat kejujuran dsb. Demikian juga perlengkapan yang dipakai, dan petunjuk operasional pada saat rukyat dilakukan.

Selain dua masalah di atas, yang termasuk problem teknis adalah masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan IDL dengan HDL. Akibatnya suatu berita rukyat akan diterima serentak (real-time) di segala penjuru dunia pada 24 zona waktu yang berbeda. Akibatnya bisa saja terjadi, suatu berita diterima di saat yang sama (bukan terlambat!) pada tempat lain yang ?masih pagi/siang? atau ?sudah pagi/siang?.
Andaikata hal-hal ini tidak diperhatikan, maka bisa terjadi, suatu daerah hanya berpuasa 28 hari, sebab harus serentak mengikuti rukyat daerah lain.

Hal ini bisa diatasi dengan pasal tambahan misalnya, hasil rukyat global hanya diikuti daerah di sebelah kiri HDL. Yang di sebelah kanan HDL dianggap 'masih siang', sehingga baru masuk tanggal satu magrib setelah itu. Akibatnya hari untuk tanggal 1 bulan Hijri akan berbeda, walau tetap serentak.

Dalam hal ini, kalender hijri untuk keperluan sipil (administrasi) bisa saja tidak perlu dirubah, dan dualisme kalender ini (sipil ' ibadah) diijinkan pada saat-saat tertentu.

Faktor Politis

Dari sini kelihatan bahwa faktor fiqh dan teknis yang beraneka ragam itu harus disatukan, dan itu tidak bisa selain dengan suatu otoritas yang legitimate baik secara real politis maupun secara syar'ie, yang akan mengadopsi (tabbani) salah satu pendapat yang argumentasinya paling kuat, entah dari segi fiqh maupun teknis rukyat/hisab.

Keputusan ini lebih bersifat politis, karena memang yang dihadapi tidak lagi hukum atau teknis, tetapi masalah yang berkaitan dengan politik juga, yakni semangat kebangsaan (nasionalisme) sempit atau fanatisme golongan (sektarian) yang membuat orang memilih suatu pendapat bukan secara syar'ie atau berdasarkan ilmu pengetahuan.


Albi Fitransyah, S.Si, M.T
Dikutip dari beberapa sumber.

4 komentar:

  1. nice sangat objektif, memang harus ada pengorganisasian waktu, sekarang jaman modern. Tapi menurut saya jaman sekarang sudah tidak perlu rukyat lagi, kalo mau coba2 kaya NU kelihatannya seperti unta yg jatuh ke lubang 2,3 atau 4x. Artinya sunatullah (alam ini) pasti, brp drajat bisa dirukyat dan brp drjat tidak.Kalau 2 drj ga bisa dirukyat jangan ada bhs kemungkinan spt ormas NU sehingga "udah pasti ga bisa dirukyat eh dirukyat lagi dirukyat lagi" Allah menciptakan benda astronomi itu adalah sebuah kepastian utk perhitungan, jadi cukup hisab saja.

    BalasHapus
  2. pengamatan hilal itu khusus untuk puasa ramadan, untuk bulan yang lainnya dalam kalender hijriah cukup dilakukan hisab saja. tetapi titik nol perjalanan bulan mengelilingi bumi menurut ilmu agama bukan pada cunjungsi.demi jelasnya baca rotasi bulan.blogspot.com.bakrisyam

    BalasHapus
  3. oleh karena bumi itu bulat seperti bola berotasi terhadap sumbunya sehingga terjadi siang dam malam ( hari ), maka garis batas perubahan hari dan tanggal bisa saja melalui dimana saja (di setiap permukaan bumi )
    demi untuk menselaraskan setiap metode yang di pergunakan umat manusia di seluruh dunia yang terkait dengan hitungan hari, agar setiap metode itu nyambung, seharusnya dengan acuan yang sama pula yaitu
    GARIS BATAS PERUBAHAN HARI DAN TANGGAL YANG SAMA

    BalasHapus
  4. Analogi kritik thdp penganut rukyat global kurang pas, ganti analogi yg lain klw gk ada jgn dipaksakan

    BalasHapus